Pages

Ads 468x60px

About

Blogger news

Blogroll

Blogger news

12/11/2012

Difteri




Download versi lengkap disini
A.  Pengertian
1.           Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
2.       Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
3.      Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).

B. Etiologi dan klasifikasi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi  oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat  bakteri Corynebacterium diphteriae :
1.                  Gram positif
2.                  Aerob
3.                  Polimorf
4.                  Tidak bergerak
5.                  Tidak berspora

Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni  dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1.      Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2.      Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
 Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
1.      Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2.      Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3.      Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai  dengan gejala komplikasi  seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut  bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1.      Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2.      Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
                         Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3.      Difteri laring dan trakea
      Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4.      Difteri kutaneus dan vaginal
      Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

C.     Patofisiologi
 Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat  peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan  oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
   Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang  terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997). 
Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
1.      Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2.      Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3.      Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4.      Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
D.    Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
      Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
1.      Demam yang tidak terlalu tinggi
2.      Denyut jantung cepat
3.      Lesu dan lemah
4.      Menggigil
5.      Mual muntah
6.      Nyeri saat menelan dan anoreksia
7.      Pucat
8.      Pembengkakan kelenjar limfa dileher
9.      Sakit kepala
10.  Pembengkakan kelenjar limfa dileher
11.  Sesak nafas
12.  Serak

E.     Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut  Rampengan (1993) yaitu :
1.      Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman  Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
2.      Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya,  bronkopneumonia dan atelektasis.
3.      Sistemik
a.       Kardiovaskuler
1)      Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau  adanya aritmia  menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a)      Gangguan kondiksi .
b)      Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c)      Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2)      Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a)      Timbul setelah masa laten
b)      Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c)      Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
b.      Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1)      Paralisis atau parese palatum mole
a)      Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b)      Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c)      Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2)      Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3)      Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal.
4)      Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
c.       Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak.

F.      Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1.      Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
2.      Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
3.      Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
4.      Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
5.      Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6.      Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.

G.    Penatalaksaan
1.            Penatalaksanaan medis
a.       Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
b.      Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
1)      Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
2)      Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3)      Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.
2.            Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).

H.    Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
1.      Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga  disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
2.      Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
3.      Pencarian seorang karier difteri
 Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi.
4.      Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.
I.       Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
2.       Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
3.      Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
4.      Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
5.      Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
6.      Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
7.      Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)


DAFTAR PUSTAKA

Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com.  7 juni 2008.www.medicastrore.com

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008

Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.

Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.

Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC

Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.

Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008

Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto. Keperawatan









No comments:

Post a Comment

 
 
Blogger Templates