Download versi lengkap disini
A. PENGERTIAN
Herpes simpleks merupakan penyakit dermatologi yang serius tetapi langka dan aneh pada kehamilan. Biasanya pada kehamilan itu terjadi herpes virus pada genetalia maternal yaitu virus herpes simpleks tipe I dan II
Ø Herpes simpleks merupakan suatu virus DNA, hanya menjangkiti manusia saja dan tersebar hampir merata di dunia (Ardnt, 1984).
Ø Herpes simplex adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens (Duanda, Adhi, dkk., 1993).
Ø Herpes simpleks penyakit infeksi karena hubungan seksual dengan penyebab herpes simpleks tipe II (Manuaba, 1999).
Ø Herpes simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel berkelompok di atas kulit yang eritematosa derah mukokutan. Dapat berlangsung primer maupun rekurens. Herpes simpleks disebut juga fever blaster, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis (genitalis). (Mansjoer, Arif, dkk., 1999).
Ø Herpes simpleks adalah infeksi herpes simpleks virus yang umumnya menjangkiti daerah kulit bagian luar (mukokutan), kebanyakan setempat atau lokal dan setelah infeksi awal dapat berkembang menjadi laten dengan rekurensi berulang. (www.gsk-indonesia.com).
Dalam herpes simplek dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan perbedaan imunologis dan klinisnya yaitu (Bobak, 2004) :
1. Virus herpes simpleks tipe I
Merupakan infeksi yang paling benyak ditemukan pada masa kanak-kanak. Biasanya ditransmisi melalui kontak sekresi oral dan menyebabkan cold sores dan fever blisters.
2. Virus herpes simpleks tipe 2
Biasanya terjadi setelah puber seiring aktivitas sexual meningkat. Dan di transmisikan terutama melalui kontak dengan sekresi genetalia.
B. ETIOLOGI
Hepes simpleks disebabkan oleh suatu virus DNA. Ada dua jenis virus herpes simpleks yaitu:
1. Virus herpes tipe I, merupakan penyebab infeksi herpes non genetalis, biasanya lesi ada diatas pusat
2. Virus herpes tipe II, merupakan penyebab infeksi genetalis pada laki-laki maupun wanita, dan lesi biasanya ada dibawah pusat
Pada bayi yang baru lahir mungkin mendapatkan virus melalui infeksi plasenta, infeksi melalui jalan lain, kontaminasi langsung selama janin melewati jalan lahir yang terinfeksi, transmisi langsung dari ibu yang terinfeksi.
C. PATOFISIOLOGI
Virus herpes simpleks tipe I bertanggung jawab atas terjadinya sebagian besar infeksi herpes non genital tetapi kadang-kadang mengenai traktus genitalis. Virus tipe II secara ekskluisf hanya ditemukan pada traktus genitalis dan pada sebagian kasus ditularkan lewat kontak seksual. Lama masa inkubasi berkisar antara 2-20 hari rata-rata 6 hari.
Bila seseorang terkena HSV, maka infeksi yang terjadi dapat berupa infeksi primer (pertama kali terjadi pada dirinya), episode I non primer, infeksi rekurens (ulangan), asimptomatik atau tidak ada infeksi sama sekali. Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjala melalui serabut saraf sensori ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten.
Pada episode I non-infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung, tetapi belum menimbulkan gejala klinis. Pada keadaan ini tubuh sudah membentuk antibodi sehingga pada episode I ini kelainan yang terjadi tidak seberat episode I dengan infeksi primer.
Sedangkan infeksi rekurens terjadi HSV yang sudah ada dalam tubuh seseorang aktif kembali dan menggandakan diri. Hal ini terjadi karena adanya faktor pencetus, yaitu berupa trauma (luka), hubungan seksual yang berlebihan, demam, gangguan alat pencernaan, stres, kelelahan, makanan yang merangsang, alkohol, serta obat-obatan yang menurunkan kekebalan tubuh.
Setelah terjadi infeksi pada ibu hamil secara langsung janin itu terinfeksi. Infeksi dapat melalui plasenta pada bayi yang baru lahir terjadi selama kehamilan. Infeksi melalui plasenta pertama-tama melibatkan membran saluran sehingga masuk ke janin menyebabkan choioamnionitis. Infeksi dapat juga melalui servik dan virus yang dilepaskan melalui servic atau traktus genitalis bawah. Virus kemudian dapat menginvasi uterus sesudah ketuban pecah atau mengenai janin saat dilahirkan.(Price dan Wilson, 2005)
Herpes genitalis pada kehamilan
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kersakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, penderita cacat neurologik atau kelainan pada mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungitvitis, atau hepatitis, disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio caesaria bila pada saat melahirkan seorang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah.
Di Amerika Serikat frekuensi herpes neonatus adalah 1 per 7500 kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum.
D. MANIFESTASI KLINIK
Pada herpes simpleks ini dapat terjadi infeksi primer dan infeksi rekuren, adapun gejala-gejalanya dibawah ini (Cunningham, 1995)
1) Infeksi primer
Masa inkubasi yang khas selama 3-6 hari yang diikuti oleh erupsi papiler dengan rasa gatal-gatal atau pegal-pegal yang kemudian menjadi nyeri. Adanya gejala sistemik mirip influenza, seperti demam, anoreksia dan dapat desertai dengan pembengkakan kelenjar getah bening regional, lemas disuria, retensio urin. Vesikel pada vulva dan peritoneum dapat mengakibatkan rupture, selain itu ulkus bengkak menghilang dalam 2-6 minggu, juga pada ibu. Sedangkan pada neonatus dapat terlihat pada 4-7 hari: letargi, konvulsi, ikterik, perdarahan, lesi kulit dan mulut
2) Infeksi rekuren
Periode laten dimana partikel-partikel virus terdapat pada ganglion saraf. Pada infeksi ini, pelepasan virus dengan atau tanpa lesi yang simtomatik. Lesi ini umumnya tidak banyak, dan tidak begitu menimbulkan nyeri tekan serta melepaskan virus untuk periode waktu yang lebih singkat (2-5 Hari) dibandingkan dengan yang terjadi pada infeksi primer dan secara khas akan timbul kembali pada lokasi yang sama.
E. KOMPLIKASI
Menurut Hamilton, 1995 komlikasi dapat terjadi baik pada ibu maupun pada bayinya, sebagai berikut:
1. Pada Ibu
Apabila pada ibu terdapat lesi servikal mungkin mengarah pada karsinoma invasive pada usia bayi. Penyakit pernapasan atau hubungan seksual yang asimtomatik atau sindrom seperti mononucleosis, juga terdapat rabas di serviks
2. Pada bayi atau janin
Dapat terjadi abortus spontan, kelahiran premature, infeksi tranplasenta (mikrosefali, RM, Kelainan jantung). Selain itu, dapat terjadi kelainan pada visera dan pada system nervus (berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, hepatosplenomegaly sampai akhirnya berujung pada kematian).
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan serologi (STS) dan pemeriksaan dengan mikroskop lapang gelap untuk menyampingkan sifilis.
2. Pemeriksaan Laboratorium lain:
v Menemukan badan inklusi pada sediaan apus cairan vesikel yang dicat dengan giemsa (Tzank Test). Atau dilakukan pemeriksaan sitologi sesudah fiksasi dengan alcohol dan pengecetan Papanicolaou digunakan sebagai cara yang cepat untuk mendiagnosis eksaserbasi klinis, dan sediaan apus yang diambil memperlihatkan lesi dengan sel-sel multinucleus yang besar dan badan inklusi virus yang eosinofilik. Metode ini dibatasi oleh spesifisitas dan sensitivitasnya. Namun, teknik pengecatan imunoperoksidase dan pemeriksaan ELISA (enzyme-linked immudosorbent assay) pernah dievaluasi bahwa pembuatan diagnosis lebih cepat dari sediaan apus, tetapi teknik ini tidak banyak dipakai selama kehamilan.
v Elektromikroskop: untuk melihat morfologi virus
v Serologi: menentukan jenis antibibodi spesifik
v Pemeriksaan immunofluoresen: menentukan antigen virus dan jenis imunoglobulinnya dengan hasil Ig G maupun komplemen c3 mengendap disepanjang zona membran basalis
v Pemeriksaan histopatologi
v Biakan virus pada membran chorio alantois ( CAM ) atau tissue culture. Metode ini merupakan cara yang paling optimal untuk memastikan infeksi yang terlihat secara klinis dan eksaserbasi yang asimtomatik. Dan pada eksaserbasi yang simtomatik lebih dari separuh pemeriksaan kultur akan memberikan hasil yang positif setelah 48 jam, namun pada eksaserbasi yang asimtomatik, diperlukan waktu yang lebih lama lagi sebelum terlihat efek sitopatik mengingat titer virus yang lebih rendah.
G. PENATALAKSANAAN
1. Mencegah infeksi:
v Penyuluhan
v Meningkatkan kebersihan perawatan bayi terutama untuk infeksi herpes orolabial dan mata.
v Untuk infeksi genital tidak melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko tinggi.
Tindakan lain:
v Untuk wanita lain, pada ibu dengan infeksi primer dianjurkan untuk tidak hamil pada 1 sampai 2 bulan pertama.
v Pemeriksaan sitologi teratur pada wanita hamil dengan infeksi herpes simpleks terutama menjelang persalinan.
v Dilakukan operasi SC bila ditemukan lesi aktif maupun pelepasan virus.
v Imunisasi
Ø Secara aktif non spesifik
Diberikan vaksinasi dengan vaksin small pox, polio sabin dan BCG. Tidak dianjurkan karena tidak terjadi imunitas silang.
Ø Secara aktif spesifik
Vaksin mengandung antigen herpes simpleks yang telah di inaktifkan dengan pemanasan 58 derajat celcius yang diperoleh dari CMA. Ada 2 macam vaksin:
1. Lupidon H: untuk herpes labialis (HSV tipe 1)
2. Lupidon G: untuk herpes genetalis (HSV tipe 2)
Vaksin ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan penderita yang alergi dengan Lupidon G, dapat diberikan kimbinasi Lupidon H dan lupidon G.
Ø Imunisasi secara pasif
Pemberian gamma-globulin dan interferon
Ø Stimulator imunologi:levamisol
Bersifat antiviral pada kulur jaringan dan hewan stimulasi CMI bisa memberikan efek toksis
2. Mencegah kekambuhan
Ø Menghilangkan atau mengurangi faktor pencetus dengan memberikan pengarahan serta mengobati infeksi.
Ø Meningkatkan daya tahan tubuh penderita dengan perbaikan kondisi tubuh maupun obat-obat anti virus seperti valaciclovir dan acyclovir.
Ø Bila terdapat infeksi sekunder sebaiknya diberikan obat-obat yang tidak memberikan masking effect terhadap sifilis, misalnya cotrimoksasol dan streptomisin.
3. Pengobatan
Ø Secara topikal
Obat-obat yang sering dipakai:
1. Povidon-iodin
ü Antiseptik
ü Hati-hati pada wanita hamil karena bisa menimbulkan goiter (gondok) pada bayi.
2. Idoksuridin ( IDU )
ü Bersifat menekan sintesis DNA virus dan herpes, jadi menghambat replikasi virus
ü IDU 10-40% dalam DMSO (dimetil sulfoksida) lebih baik, tapi jangan lebih dari empat hari karena DMSO dapat menimbulkan maserasi.
ü Tidak dapat diberikan secara sistemik karena bersifat toksis
ü HERPID adalah 5% IDU dalam100% DMSO
3. Sitosin arabinosida/cytarabine
ü Menekan sintesis DNA virus dan hospes
4. Adenin arabinosida/vidarabine
ü Menekankan sintesis DNA hospes dan polimerasi DNA virus
5. Bahan-bahan pelarut organis
ü Alkohol 70%: bersifat mengeringkan, untuk stadium vesikel
ü Eter:
o Melarutkan lipid envelope sehingga partikel virus didapatkan ekstra sel dan tidak infeksius
o Bersifat krustasi lokal
o Sebelum vesikel dipecahkan dan kemudian dioleskan
o Kurang menyebabkan iritasi dan bersifat anestesi lokal
ü Timol 4% dalam kloroform
o mempercepat krustasi
o bersifat anestesi lokal dan mencegah infeksi sekunder
o virusidal terhadap virus yang envelope nya mengandung lipid
6. Kortikosteroid (prednison 40-60 mg/hari
ü Anti inflamasi lokal tidak spesifik
ü Mempercepat redanya peradangan
ü Dapat diberikan pada staduim dini dengan edema yang hebat dalam bentuk lotio hydrocortison 1%
7. Inaktifasi fotodinamik dan larutan zat warna seperti methylen blue, neutral red atau flavine
ü Zat warna mengikat virus DNA dan dengan penyinaran akan merusak dan menginaktivasi virus
Ø Secara sistemik
1. pemberian obat antiviral
ü vidarabine/ara A: pemberian secara I.V terutama untuk penyembuhan komlikasi seperti herpetic enchepalitis
ü acycloguanosine: spesifik untuk kelompok virus herpes, tinggi efektifitasnya untuk corneal ulcus
2. Lignocain 1-2% dalam bentuk gel untuk menghilangkan rasa nyeri pada daerah lesi
DAFTAR PUSTAKA
Bobak, dkk (2004). Buku ajar keperawatan maternitas.. Edisi 4. Jakarta: EGC
Cunningham, F. Gray. (1995). Obstetrics Williams. Edisi 18. Jakarta: EGC
Daili, S. F dan Wresti I B. M. (2002). Infeksi virus herpes. Jakarta: FKUI
Edge, Valine & Miller Mindi (1991). Women;s health care Missouri Mosby
Friedman, F.A, Acker, DB & Sachc. B. P (1998). Seri skema diagnosis dan penatalaksanaan
No comments:
Post a Comment