A. PENGERTIAN
CA Cavum Nasi adalah kanker yang menyerang rongga hidung.
Tumor ganas hidung dan tumor ganas sinus paranosalis tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling mempengaruhi.
B. ETIOLOGI
Penyebab dari ca cavum nasi belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa kemungkinan besar, diantaranya adalah:
1. Perokok berat, fistula oroantal, rhinitis atrofi, pecandu alkolhol.
2. Infeksi kronik hidung dan sinus paranosal.
3. Kontak dengan debu kayu pada pekerja mebel (faktor iritasi kronis dari debu dan kayu).
4. Kontak dengan bahan industri, seperti nikel, krom, isopropanolol.
5. Thorium dioksida yang dipakai sebagai cairan kontras pada pemeriksaan rontgen.
6. Sinositis maksila kronis.
C. PATOFISIOLOGI
Benda asing (asap rokok, nikotin, debu kayu, nikel, krom dll) masuk kedalam rongga hidung terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan terbentuknya massa, perubahan struktur dan mukosa hidung sehingga menimbulkan obstruksi rongga hidung yang dapat mengenai septum nasi (devormitas kavum, septum nasi, trauma kavum/septum nasi, hamatom septum dan perforasi septum) atau pertumbuhan baru seperti polip hidung, papiloma, inversi dan tumor beligna/maligna). Sebagai tambahan, berbagai sebab lain menyebabkan obstruksi saluran pernafasan hidung (hipertrofi adenoid, benda asing, atresia, koana, jaringan parut intra nasal, dan kolaps). Massa adalah kavum nasi ini menyebabkan edema pada mukosa hidung akibat gangguan aliran limfe dan vena serta membentuk masa polipoid pada cavum nasi. Tumor ini menginvasi kearah atas sampai kedalam fosa kranialis dan kearah lateral sampai ke dalam orbita.
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala Ca Cavum nasi, tergantung pada tempat asal tumor dan arah serta luas penyebarannya.
1. Tumor sinus maksila dan meluas ke medial.
Tanda dan gejalanya:
- Hidung tersumbat
- Rinorea unilateral yang menetap dan berbau.
- Epistaksis
2. Tumor sinus etmoid dan lamina kribiformis.
Tanda dan gejalanya:
- Hidung tersumbat
- Anomsia
- Beringus
- Nyeri didaerah frontal
3. Tumor dasar antrum dan meluas ke arah bawah.
Tanda dan gejalanya:
- Gigi yang goyah
- Gangguan oklusif
- Nyeri pada gigi molar
- Pembengkakan dan laserasi didaerah palatum.
4. Tumor meluas kedaerah orbita dan duktus nasolakrimalis.
Tanda dan gejalanya:
- Diplopia
- Proptosis
- Tersumbatnya saluran air mata
- Mata tampak membengkak
- Teraba musa dan orbita
- Mata tampak menonjol.
5. Tumor meluas ke anterior.
Tanda dan gejalanya:
- Pembesaran pipi satu sisi (asimetris)
6. Stadium lanjut N. Alveolaris superior.
Tanda dan gejalanya:
- Rasa baal pada gigi dan gusi rahang atas.
7. Tumor meluas dan menginvasi ke nasofaring.
Tanda dan gejalanya:
- Tuli konduktif akibat gangguan tuba bustachius.
8. Perluasan lain yang dapat mengenai saraf.
Tanda dan gejalanya:
- Tuli saraf
- Tidak mampu membuka mulut
- Paresis fasialis
- Hemiplegia
- Hiperparestesia
- Nyeri kepala berat
- Perubahan posisi mata.
E. KOMPLIKASI
- Sinusitis frontal: Ca yang telah menyumbat duktus frontonasal sehingga dapat menyebabkan sinusitis frontal.
- Meningitis: Ca yang mengenai selaput otak sehingga menimbulkan serangan berulang meningitis.
F. PENATALAKSANAAN
Yang terpenting dalam penatalaksanaan tumor menurut Nurbaiti (Iskandar dkk (1989) adalah:
1. Menegakkan diagnosa dengan biopsi dan pemeriksaan histopatologi.
2. Menentukan batas-batas tumor dengan pemeriksaan radiologis.
3. Merencanakan terapi yang dibuat berdasarkan diagnosis histopatologi dan stadium tumor.
Kebanyakan pakar berpendapat bahwa satu macam cara pengobatan saja hasilnya buruk, sehingga mereka menganjurkan cara terapi kombinasi antara operasi, radioterapi dan kemoterapi. Di bagian THT FKUI/RSCM pengobatan tumor ganas hidung dan sinus paranasal adalah kombinasi operasi dan radiasi, kecuali untuk pasien yang sudah “Inoperable” atau menolak tindakan operasi. Untuk pasien ini diberikan radioterapi sesudah dibuatkan antrostomi.
Radioterapi dapat dilakukan sebelum/sesudah operasi. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Untuk tumor yang sangat besar, radioterapi dilakukan lebih dulu untuk mengecilkan tumornya dan mengurangi pembuluh darah sehingga operasi akan lebih mudah. Tetapi bila telah dilakukan radiasi dulu sesudah selesai, banyak pasien yang kemudian tidak kembali untuk operasi karena merasa tumornya sudah mengecil. Atau ada yang tidak mau operasi karena efek samping radioterapi yang berkepanjangan. Sekarang lebih disukai radiasi pasca operasi karena sekaligus dimaksudkan untuk memberantas mikro metastasis yang terjadi atau bila masih ada bisa tumor yang tidak terangkut pada waktu operasi. Luas operasi tergantung pada sampai dimana batas tumornya. Bila tumor disinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat seluruh isi rongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum clurum. Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa plerigo palatina dianggap sudah “Inoperable” dan hanya diberikan penyinaran saja.
Untuk penanganan tumor ganas hidung dan sinus diperlukan kerjasama yang baik antar berbagai disiplin ilmu yaitu ahli bedah THT, ahli radiologi, ahli bedah mata, ahli bedah saraf, ahli bedah plastik dan dokter gigi.
Menurut R. Pracy dkk (1989), Radioterapi merupakan pilihan pertama untuk mengobati penderita. Pasien harus diperiksa ulang setiap bulan bila ada tanda kekambuhan segera dilakukan eksisi dinding lateral hidung melalui rinotomi lateral.
Pilihan pengobatan yang kedua adlah dengan cara operasi pada saat radioterapi banyak secret dan pengelupasan jaringan dalam ruang antrum, oleh karena itu penting sekali membuat jalan untuk drainase sebelum radioterapi mulai dilakukan. Dua bulan kemudian baru dilakukan operasi pada tepi alveolar cavum nasi yang terdapat Ca dan dinding medial antrum dibuang sehingga terbentuk suatu rongga besar. Maksud operasi ini adalah membuang sebanyak mungkin sisa tumor dan mempermudah melihat dengan jelas kedalam rongga hidung.
Penderita dilakukan pemeriksaan ulang setiap bulan selama 2 tahun pertama, kemudian tiap 3 bulan sekali. Bila perlu dapat dilakukan maksilektomi total bial terdapat pembesaran pada kelenjar leher maka harus dilakukan diseksi leher radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. (1997). Diagnosa keperawatan: buku saku. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Cody, D. Thane R. (1991). Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman perencanaan dan pendokumentasian perawat – pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC
Iskandar, Nurbaiti, dkk. (1989). Tumor: telinga hidung tenggorok diagnosa dan penatalaksanaan. Jakarta: FKUI.
Mansjoer, Arif. (1999). Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius.
Long, Barbara C. (1999). Perawatan medikal bedah (suatu pendekatan proses keperawatan). Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
R. Pracy, dkk. (1989). Pelajaran ringkas telinga, hidung dan tenggorok. Jakarta: PT Gramedia.
No comments:
Post a Comment