Pages

Ads 468x60px

About

Blogger news

Blogroll

Blogger news

1/20/2013

Trauma telinga





I.                   PENGERTIAN
1.      Trauma telinga adalah trauma yang dapat terjadi berbagai cidera traumatika yang nyeri pada aurikula, meatus akustikus eksterna dan membran timpani. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 104)
2.      Trauma telinga tengah adalah perforasi membran timpani yang dapat disebabkan oleh perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan-atau karena benda asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll). (Adams. 1997: 95)
3.      Trauma telinga adalah tuli yang disertai gambaran atoskopik yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi udara mendadak, udara di meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga mserta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. (Cody, Kern, Pearson. 1991: 90)
4.      Trauma pada sistem pendengaran adalah trauma pada daun telinga yang dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat kecelakaan.(Harold. 1992)

II.                ETIOLOGI
1.      Menurut Soepardi (2000: 30), penyebab utama dari trauma telinga antara lain:
a.       Kecelakaan lalu lintas
b.      Perkelahian
c.       Kecelakaan dalam bidang olahraga
d.      Luka tembak
e.       Kebiasaan mengorek kuping
2.      Menurut Cody, Kern, Pearson (1991: 90), penyebab utama trauma telinga yaitu:
a.       Kompresi mendadak udara di liang telinga.
b.      Adanya benda-benda asing (misal: kapas lidi atau ranting-ranting pohon).
c.       Trauma kapatis yang menyebabkan fraktur os temporale.
3.      Menurut Adams (1997: 84, 95, 131), penyebabnya antara lain:
a.       Kebiasaan mengorek kuping dengan jari atau suatu alat seperti jepit rambut/klip kertas.
b.      Perubahan tekanan mendadak-barotrauma, trauma ledakan- atau karena benda asing dalam liang telinga (aplikator berujung kapas, ujung pena, klip kertas, dll).
c.       Terpapar bising/suara industri yang berintensitas tinggi dan lamanya paparan.

III.             KLASIFIKASI
Menurut Soepardi (2000: 30-31) dan Harold (1992):
1.      Trauma Daun Telinga (liang telinga luar)
Trauma daun telinga mungkin dapat terjadi pada waktu bertinju atau akibat suatu kecelakaan, akibatnya timbul hematom di bawah kulit. Apabila hal ini terjadi, maka diperlukan beberapa kali aspirasi untuk mencegah terjadinya deformitas pada daun telinga (couliflower ear).
Sebagai akibat timbulnya proses organisasi bekuan darah di bawah kulit. Yang sering ditemui adalah edem laserasi, hilangnya sebagian atau seluruh daun telinga dan perdarahan. Pada pemeriksaan ditemukan rasa sakit, edema yang hebat pada liang telinga sering menyebabkan gangguan pendengaran, laserasi, luka robek dan hematom. Hematom terbentuk di antara perikondrium dan kondrium.
2.      Trauma Os Temporal
Pada beberapa jenis trauma dapat menyebabkan depresi mendadak pada fungsi vestibular, dengan akibat terjadi episode vertigo hebat yang berlarut-larut. Suatu kecelakaan selama tindakan untuk memperbaiki tuli konduktif atau untuk menghilangkan penyakit ini di celah telinga tengah dapat menyebabkan kerusakan telinga dalam. Pada trauma tulang temporal terdapat hematom, laserasi atau luka tembak. Pada permukaan radiologi terlihat garis fraktur. Garis fraktur dapat longitudinal, transversal atau campuran. Fraktur longitudinal ditemukan pada 8 % kasus akan merusak struktur telinga tengah sehingga terjadi tuli konduktif akibat dislokasi tulang-tulang pendengaran. Terjadi perdarahan pada meatus akustikus eksternus. Bila terdapat cairan serebrospinal merupakan tanda adanya fraktur basil krani, pada kasus ini jarang terjadi kontusio telinga dalam.
Fraktur transversal ditemukan pada 20 % kasus, mengenai os petrosum, telinga dalam sehingga terjadi sensory-neural hearing loss, vertigo dan ditemukan timpanum.

IV.              PATOFISIOLOGI
Tuli yang disertai gambaran otoskopik dapat disebabkan oleh berbagai jenis trauma, meliputi kompresi mendadak udara di meatus akustikus eksternus, masuknya benda asing ke dalam telinga serta trauma kapitis yang menyebabkan fraktura os temporale. Penyebab yang pertama, kompresi mendadak udara di liang telinga. Suatu kejadian yang tampaknya ringan, seperti tamparan pada telinga mungkin cukup menyebabkan ruptura membran timpani. Pasien akan mengalami nyeri telinga yang hebat dan terdapat perdarahan yang bervariasi pada tepi perforasi. Dapat timbul tuli konduktif dengan derajat yang tergantung atas ukuran dan lokasi perforasi.
Penyebab yang kedua yaitu masuknya benda-benda asing, seperti kapas lidai atau ranting-ranting pohon, bila masuk ke dalam meatus akustikus eksternus dapat menimbulkan cidera yang terasa nyeri, bervariasi dari laserasi kulit liang telinga sampai destruksi total teinga dalam. Pada trauma hebat, dapat terjadi perforasi membran timpani disertai perdarahan dan disrupsi tulang-tulang pendengaran, serta pasien akan mengalami episode vertigo hebat berlarut-larut disertai gejala penyertanya, yang menunjukkan terkenanya telinga dalam. Trauma yang kurang berat yang menyebabkan tuli konduktif berupa perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran. (Cody, Kern, Pearson, 1991: 90)

V.                 MANIFESTASI KLINIK
1.      Menurut Soepardi (2000: 30), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:
a.       Edema
b.      Laserasi
c.       Luka robek
d.      Hilangnya sebagian/seluruh daun telinga
e.       Perdarahan
f.        Hematom
g.       Nyeri kepala
h.       Nyeri tekan pada kulit kepala
i.         Fraktur tulang temporal
2.      Menurut Adams (1997: 95), manifestasi klinik trauma telinga antara lain:
a.       Nyeri
b.      Sekret berdarah dari telinga
c.       Gangguan pendengaran
d.      Gangguan kesadaran
e.       Hematoma subdural/epidural/kontusi

VI.              KOMPLIKASI
1.      Tuli Konduktif
Terjadi karena adanya perforasi membran timpani dengan atau tanpa dislokasi tulang-tulang pendengaran.
2.      Paralisis Wajah Unilateral
Terjadi karena trauma yang mengenai nervus fasialis di sepanjang perjalanannya melalui os temporale sehingga dapat menyebabkan paralisis wajah unilateral.
3.      Vertigo Hebat
Disebabkan oleh berbagai jenis trauma yang dapat menyebabkan depresi mendadak pada fungsi vestibular, sehingga terjadilah vertigo yang mendadak, hebat dan berlarut-larut.
4.      Kehilangan Kesadaran
Terjadi karena kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak dan biasanya cideranya cukup hebat sehingga pasien akan mengalami periode kehilangan kesadaran.
5.      Nistagmus
Nistagmus merupakan sesuatu yang khas bagi kehilangan fungsi vestibular unilateral mendadak.(Cody, Kern, Pearson. 1991: 23)

VII.           PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Rontgenogram Tengkorak Rutin
Mungkin memperlihatkan fraktura os temporale, tetapi sering tidak ditemukan.
2.      Rontgenogram Stereo Atas Basis Tengkorak dan Tomogram
Diperlukan untuk mengidentifikasi fraktura.
3.      Tes Audiometri
Dapat menunjukkan tuli sensorineural lengkap di elinga yang terkena. Tes audiometri harus dilakukan untuk mengetahui jumlah sisa pendengaran di telinga yang terkena jika terdeteksi.
4.      Tes Kalori
Akan menunjukkan hilangnya fungsi vestibular. Tetapi tes kalori tidak boleh dilakukan bila terdapat atorea.(Cody, Kern, Pearson. 1991: 24)

VIII.        PENATALAKSANAAN
Trauma Telinga Luar
            Luka akibat trauma tajam baik di tulang rawan maupun di kulit dijahit kembali, kemudian diberi pembalut. Pada luka daun telinga sedapat mungkin tulang rawan ditutup dengan kulit untuk mencegah terjadinya kondritis yang sangat nyeri dan dapat mengakibatkan nekrosis tulang rawan. Jika luka tidak dapat langsung ditutup, daun telinga harus ditutup dengan flap kulit dari retroaulikuler sehingga rawan telinga tertutup kulit untuk beberapa waktu. Setelah luka sembuh, dapat direncanakan bedah rekonstruksi. Daun telinga yang tercabik dapat dicangkokkan kembali dengan menjahit perikondrium segera dan kedua sisi kulit bila bagian yang tercabik tidak hancur.
            Trauma tumpul pada daun telinga dapat mengakibatkan timbulnya othemortoma (hematoma pada telinga). Othematoma harus ditangani secara agresif karena pungsi sering menimbulkan residif. Sebaiknya dilakukan insisi dan evakuasi hematomnya, agar kulit dan perikondrium dapat melekat. Kemudian ditekan selama sepuluh hari dengan pembalut dan kassa pada bagian depan dan belakang telinga yang seanteronya ditekan dengan balutan sekeliling kepala (Sjamsuhidajat, 1998: 470).
            Menurut Supardi (2000: 30-32), penatalaksanaan pada trauma pada sistem pendengaran adalah:
            Tempat terjadinya laserasi dan luka dibersihkan secara sempurna dari kotoran dan dilakukan debridemen, hentikan perdarahan. Perdarahan dari liang telinga dibersihkan, sumber perdarahan dicari dan dihentikan. Dipasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotik. Tampon dipertahankan 2-3 hari, bila waktu tampon dibuka masih terjadi perdarahan, tampon ulang dipasang lagi.
            Hematoma yang terjadi bila kecil diobservasi, bila besar perlu dilakukan evaluasi dan pasang bidai penekan, hal ini membutuhkan waktu yang lebih lama. Bila timbul rasa sakit berarti bidai penekan tersebut terlalu kencang dan komplikasi yang dapat terjadi adalah perikondritis. Diberikan antibiotik ampisilin atau amoksilin sesuai dosisnya.
            Cegah masuknya infeksi melalui telinga dengan memasang tampon yang dibasahi antibiotik. Bila ditemukan cairan serebrospinal, tampon telinga diberi obat Sulfa. Bila cairan serebrospinal tampon telinga masih ditemukan sesudah 7-l0 hari, hal ini biasanya disebabkan oleh fraktur fosa kranio medialis, untuk ini harus dilakukan eksplorasi dengan bantuan bedah syaraf.
            Menurut Cody, Kern, Pearson (1991: 24-25):
1.      Terapi pada trauma os temporal
Pasien  harus dirumahsakitkan dan diberikan cairan infus IV. Kasus cedera multipel harus diterapi sesuai derajat keparahanya. Pasien harus diobservasi dengan teliti bagi tanda-tanda. hematoma subdural dan tidak boleh memberikan obat-obatan untuk menekan vertigo dan sedativa. Sampai keadaan pasien stabil.
Bila kerusakan hanya pada telinga dalam, maka terapi serupa seperti kasus neuronitis vestibulari. Bila terjadi robekan pada membran timpani, maka tepi-tepi perforasi harus disatukan kembali secepat keadaan pasien memungkinkan.
Adanya atore CSS menimbulkan resiko tinggi untuk meningitis. Pada keadaan ini, telinga harus diperiksa dengan teknik steril, dan harus dihindarkan manipulasi pada telinga tersebut. Berikan pembalut steril ke telinga, dan pasien harus diterlentangkan dengan kepala ditinggikan bersama diinstruksi tidak boleh berbaring. Pada sisi yang terkena harus diberikan antibiotika berspektrum luas. Pada kebanyakan kasus, kebocoran CSS akan berhenti spontan dalam beberapa hari. Bila tidak berhenti, mungkin diperlukan mastoidektomi dan perbaikan kebocoran tersebut.
2.      Terapi pada trauma karena adanya benda asing yang masuk ke telinga
Pasien harus dirumahsakitkan dan diterapi sebagai kegawatdaruratan bedah. Setelah dimulai infus IV, harus diberikan antibiotika dan obat-obatan anti vertigo. Antibiotika dapat berupa penisili parenteral, obat untuk mendepresi vertigo. Secepat mungkin dilakukan eksplorasi bedah pada telinga yang biasanya dilakukan dengan anestesi lokal, melalui meatus akustikus eksternus. Stapes yang telah didislokasi ke dalam telinga dalam harus dikeluarkan, dan kadang-kadang bila tidak fraktur, dapat dikembalikan ke posisi yang normal. Bila tidak mungkin melakukan perbaikan, mungkin diperlukan penggantian dengan prosetesa. Tetapi bila stapes telah rusak, maka mungkin inkus juga telah terkena pula dan hubungan antara maleus dan foramen ovale mungkin harus terbentuk kembali. Segera menutup foramen ovale dan memperbaiki cacat pada tulang-tulang pendengaran akan menghindarkan kemungkinan labirinitis supurativa, menawarkan kemungkinan penyelamatan pendengaran yang bermanfaat, dan kemudian akan memperpendek episode vertigo. Jelas bila trauma telah merusak seluruh telinga dalam, maka kedua tujuan akhir itu tidak dapat dicapai.


DAFTAR PUSTAKA

Adams, George L. (1997). Boles: buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC.

Cody, D Thane, Kern, Eugene & Pearson, W Bruce. (1991). Penyakit telinga hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC.

Doengoes, M.E., Moorhouse, Many Frances, & Geissler, Alice CC. (1999). Rencana asuhan keperawatan:pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. edisi 3. Jakarta: EGC.

Haryani, Ani. (2004). Nursing diagnosis a guide to planning care. 4th ed.

Harold, Ludman. (1992). Petunjuk penting pada penyakit THT. Jakarta: Hipokrates.

Ignativicius, Donna D., Bayne, Marilynn V. (1991). Medical surgical nursing: a nursing process approach. Philadelphia: WB Saunders Company.

Nanda. (2001). Nursing diagnosis: definition and classification, 2001-2002. Philadelphia: North American Nursing Diagnosis Association.

Priharjo, Robert. (1996). Pengkajian kepala dan leher. Dalam 4 Asih, Ni Luh Gede.

Smeltzer, Suzzane C., Bare G. Brenda. (2000). Brunner and Suddart’s: textbook of medical-surgical nursing.  Philadelphia: Lippincett.


No comments:

Post a Comment

 
 
Blogger Templates