Download versi lengkap disini
A. DEFINISI
T Sifilis ialah penyakit infeksi oleh Treponema pallidum dengan perjalanan penyakit yang kronis, adanya remisi dan eksaserbasi, dapat menyerang semua organ dalam tubuh terutama sistem kardiovaskuler, otak dan susunan saraf, serta dapat terjadi sifilis kongenital. Disebut juga Mal de Naples, Morbus gallicus, Lues venera (prat), disease of the isle of Espanole (Dias), Spanish of French disease, Italian or Neopolitan disease, raja singa, dan lain-lain (Mansjoer, 2000).
T Sifilis ialah merupakan infeksi sistemik kronik yang disebabkan oleh Treponema pallidum subspesies pallidum yang biasanya ditularkan secara seksual dan ditandai oleh episode penyakit aktif diselingi oleh periode laten (Harrison, 1999).
T Sifilis ialah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, sangat kronik dan sejak semula bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten, dan dapat ditularkan dari ibu ke janin. (Harahap, 1984).
B. ETIOLOGI
Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum, yaitu spiroketa mikroaerofilik dengan flagela aksial peri plasmik yang mengelilingi protoplasma langsung helikal, yang seluruhnya dibungkus oleh membran luar. (Robbins, 1999).
Treponema pallidum menurut Harrison (1999) terbagi menjadi beberapa sub spesies pallidum diantaranya:
T. pallidum sub spesies pallidum (selanjutnya disebut T. pallidum) menyebabkan sifilis kelamin.
T. pallidum sub spesies endemicum menyebabkan sifilis endemis atau bejel.
T. paraluiscuniculi menyebabkan sifilis pada kelinci.
C. KLASIFIKASI
Menurut Mansjoer (2000), Harrison (1999) dan Harahap (1984), pembagian sifilis secara klinis ialah:
1. Sifilis Kongenital
Penularan T. pallidum dari perempuan yang menderita sifilis ke janin yang dikandungnya melalui plasenta dapat terjadi pada tahap kehamilan berapapun, tetapi lesi sifilis kongenital secara umum berkembang setelah bulan keempat kehamilan. ketika kemampuan imunologik mulai berkembang penampakan sifilis kongenital dapat dibagi menjadi:
1) Penampakan dini yagn muncul dalam waktu 2 tahun pertama kehidupan atau antara umur 2 sampai 10 minggu, menular dan menyerupai sifilis sekunder berat pada orang dewasa.
2) Penampakan lanjut
Muncul setelah 2 tahun dan tidak menular.
3) Kecacatan sisa sifilis kongenital.
2. Sifilis Akuisita
Menurut Harahap (1985) sifilis akuisita dibagi menurut 2 cara yaitu:
- Secara klinis
Secara klinis sifilis dibagi menjadi tiga stadium: stadium I (S I), stadium II (S II), dan stadium III (S III)
- Secara epidemiologik
Secara epidemiologik menurut WHO dibagi menjadi:
1) Stadium dini menular (dalam waktu 2 tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2) Stadium laten lanjut tak menular (setelah 2 tahun sejak infeksi) terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.
Mansjoer (2000) dan Harahap (1984) menyebutkan bentuk lain dari sifilis yaitu:
Sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang memasukkannya ke dalam S III atau S IV atau sebagai metasifilis.
D. PATOGENESIS
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan lesi yang mengandung treponema, treponema dapat masuk (port d’ entre) melalui selaput lendir yang utuh/kulit dengan lesi, kemudian masuk ke peredaran darah dan semua organ dalam tubuh. Infeksi bersifat sistemik dan manifestasinya akan tampak kemudian. Perkembangan penyakit sifilis berlangsung dari satu stadium ke stadium berikutnya, 10-90 hari (umumnya 3-4 minggu) setelah terjadi infeksi, pada tempat masuk T. pallidum timbul lesi primer yang bertahan 1-5 minggu dan kemudian hilang sendiri, kurang lebih 6 minggu (2-6 minggu) setelah lesi primer terdapat kelainan kulit dan selaput lendir yang pada permulaan menyeluruh, kemudian mengadakan konfluensi dan berbentuk khas, kadang-kadang kelainan kulit hanya sedikit/sepintas lalu. (Mansjoer, 2000).
Secara klinik perjalanan penyakit yang terjadi menurut Mansjoer (2000) dan Harahap (1984) sebagai berikut:
- Sifilis Akuisita
a. Sifilis stadium I
Tiga minggu (10-90 hari) setelah terinfeksi, timbul lesi pada tempat T. pallidum masuk, lesi umumnya hanya satu, terjadi afek primer berupa papul yang erosif berukuran beberapa milimeter sampai 1-2 cm, berbentuk bulat/bulan lonjong, dasarnya bersih, merah, kulit disekitarnya tidak ada tanda-tanda radang dan bila diraba ada pengerasan (indurasi) yang merupakan satu lapisan seperti sebuah kancing di bawah kain atau sehelai karton yang tipis, (kelainan ini tidak nyeri) indolen. Gejala tersebut sangat khas bagi sifilis stadium I afek primer, erosi dapat berubah menjadi ulkus berdinding tegak lurus, sedangkan sifat lainnya seperti pada afek primer, keadaan ini disebut ulkus durum yang dapat menjadi fagedenik bila ulkusnya meluas. Kadang-kadang hanya terdapat edema induratif pada pintu masuk T. pallidum yang tersering pada labia mayora. Sekitar 3 minggu kemudian terjadi penjalaran ke kelenjar ingunal medial, kelenjar tersebut membesar, padat kenyal pada perabaan, tidak nyeri, soliter dan dapat digerakkan bebas dari sekitarnya. Keadaan ini disebut sebagai sifilis stadium 1 kompleks primer, lesi umumnya terdapat pada alat kelamin, dapat juga ekstragenital (bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari, dan anus).
Hasil pemeriksaan TSS pada sifilis stadium 1 dapat seronegatif/seropositif, seronegatif umumnya terdapat bilamana kompleks primer belum terjadi.
b. Sifilis stadium II
Pada umumnya bila gejala sifilis stadium II muncul, sifilis stadium I sudah sembuh, waktu antara sifilis stadium I masih ada saat timbul sifilis stadium II. Sifat yang khas pada sifilis ialah jarang ada rasa gatal, gejala konstitusinya seperti nyeri kepala, demam sub febril, anorexia, nyeri pada tulang dan nyeri leher biasanya mendahului. Kelainan kulit yang timbul berupa makula, papul, pustul dan rupia, tidak terdapat vesikel dan bula.
Sifilis stadium II disebut sebagai The greatest immitator of all skin disease, pada stadium ini terdapat kelainan selaput lendir dan limfadenitis yang generalisata, diagnosis sifilis stadium II biasa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan serologik yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif.
c. Sifilis stadium III
Lesi yang khas adalah guma yang terjadi 3-7 tahun setelah infeksi, guma umumnya satu, dapat multiple, ukuran miliar sampai berdiameter beberapa centimeter, guma dapat timbul pada semua jaringan dan organ, membentuk nekrosis central dikelilingi oleh jaringan granulasi dan pada jaringan luarnya terjadi jaringan fibrosa, sifatnya destruktif, guma mengalami supurasi dan memecah serta meninggalkan suatu ulkus dengan dinding curam dan dalam dasarnya terdapat jaringan nekrotik berwarna kuning putih, stadium ini merusak semua jaringan, tulang rawan pada hidung dan palatum, guma dapat ditemukan di dalam hepar, lambung, lien, paru, testis, dan lain-lain. Kelainan lain berupa nodus di bawah kulit, ukuran miliar sampai tentikular, merah dan tidak ada nyeri tekan, permukaan nodus dapat berskuoma sehingga menyerupai psoriasis tetapi tanda auspitz negatif.
- Sifilis Kongenital
Treponema pallidum dapat melalui plasenta dan masuk ke peredaran darah janin, oleh karena langsung masuk ke peredaran darah tidak terdapat sifilis stadium I. Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis kongenital dini, lanjut, dan stigmata. Sifilis kongenital dini dapat muncul beberapa minggu (3 minggu) setelah bayi dilahirkan. Kelainan berupa vesikel dan bula yang setelah memecah membentuk erosi yang ditutupi krusta, kelainan ini sering muncul beberapa bulan setelah bayi dilahirkan, kelainan berupa papul dengan skuama yagn menyerupai sifilis stadium II. Kelainan pada selaput lendir berupa sekret hidung yang sering bercampur darah. Kelainan pada tulang panjang berupa osteokondritis yang khas pada foto rongent bisa terdapat splenomegali dan pneumonia alba.
Sifilis kongenital lanjut terdapat pada usia lebih dari 2 tahun. Manifestasi klinis baru ditemukan pada usia 7-9 tahun dengan adanya trias Hutchinson, yakni kelainan pada mata (keratitis interstisial yagn dapat menyebabkan kebutaan), ketulian N VIII, dan gigi Hutchinson (incisivus I atas kanan dan kiri bentuknya seperti obeng). Kelainan lain dapat berupa paresis, perforatum pallatum durum, kelainan tulang tibia dan frontalis.
Stigmata terlihat pada sudut mulut berupa garis-garis yagn jalannya radier, gigi Hutchinson, gigi molar pertama berbentuk seperti murbai dan penonjolan tulang frontal kepala (frontal bossing).
- Sifilis Kardiovaskular
Umumnya bermanifestasi 10-20 tahun setelah infeksi. Sejumlah 10% pasien sifilis akan mengalami fase ini. Pria dan orang dengan kulit berwarna lebih banyak terkena. Jantung dan pembuluh darah yang terkena terutama yang besar. Kematian pada sifilis terjadi akibat kelainan sistem ini.
Biasanya disebabkan oleh nekrosif aorta yang berlanjut ke arah katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskular adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal (aneurisme aorta torakales). Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, dan penyakit jantung rematik sebelumnya. Bila terdapat insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang berusia setengah baya disertai pemeriksaan serologis yang reaktif. Pertama kali harus dipikirkan sifilis kardiovaskuler sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya reaktif.
- Neurosifilis
Penyakit ini umumnya bermanifestasi dalam 10-20 tahun setelah infeksi, walaupun T. pallidum langsung bergerak setelah infeksi ke sistem otot dan saraf. Kelainan ini lebih banyak didapat pada orang kulit putih. Neurosifilis dibagi menjadi 3 jenis, bergantung kepada tipe dan tingkat kerusakan susunan saraf pusat.
a. Neurosifilis asimtomatik
Pemeriksaan serologis reaktif. Tidak ada tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat. Pemeriksaan sumsum tulang belakang menunjukkan kenaikan sel, protein total dan tes serologis reaktif.
b. Neurosifilis meningovaskular
Terdapat tanda dan gejala kerusakan susunan saraf pusat, berupa kerusakan pembuluh dara serebrum, infark dan ensefalomalasia dengan tanda-tanda adanya fokus neurologis sesuai dengan ukuran dan lokasi lesi.
c. Neurosifilis parenkimatosa yang terdiri dari paresis dan tabes dorsalis.
Tanda dan gejala paresis sangat banyak dan selalu menunjukkan penyebaran kerusakan parenkimatosa. Terdapat tanda fokus neurologis. Tanda dan gejala tabes dorsalis akibat degenerasi kolumna posterior adalah parestesia, ataksia, arefleksia, gangguan kandung kemih, impotensi dan perasaan nyeri.
E. MANIFESTASI KLINIK
- Sifilis Dini
a. Sifilis primer (S I)
Terjadi afek primer berupa papul yang erosif, erosi dapat berubah menjadi ulkus, keadaan ini disebut ulkus durum. Bila ulkus meluas ke samping dan ke dalam menjadi fagedenik kadang terdapat edema induratif pada sulkus koronarius (pria)/labia mayora/minora (wanita). Terjadi pembesaran kelenjar inguinal medial, timbul lesi pada alat kelamin dan juga ekstragenital (bibir, lidah, tonsil, putting susu, jari dan anus).
b. Sifilis sekunder (S II)
Nyeri kepala, demam sub febril, anorexia, nyeri pada tulang, nyeri leher yang mendahului/bersamaan dengan kelainan kulit, kelainan kulit berupa makula, papul, pustul, rupia. Terdapat kelainan selaput lendir, dan limfadenitis yagn generalisata. Nyeri tenggorok, suara parau, kerontokan rambut (alopesia difus) dan alopesia areolaris).
Warna kuku menjadi putih, rapuh, terjadi uveitis anterior pada mata, kadang terjadi koriootinitis, kadang terjadi hepatisis, hepar membesar dan menyebabkan ikterus ringan, pembengkakan sendi.
c. Sifilis laten dini
Tidak ada gejala klinis dan kelainan termasuk alat-alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif.
d. Stadium rekuren
Relaps dapat terjadi baik secara klinis berupa kelainan kulit mirip S II, dapat terjadi kelainan pada mata, tulang, alat dalam dan susunan saraf.
- Sifilis Lanjut
a. Sifilis laten lanjut
Mungkin terjadi aorititis, terdapat sikatrik bekas S I pada alat genital (leukoderma pada leher) yang menunjukkan bekas S II, kadang terdapat atrofi makular yang lentikuler pada badan bekas papel S II.
b. Sifilis tersier
Guma (satu atau multipel). Guma yang pecah menyebabkan ulkus, terdapat nodus bergerombol/tersebar guma di selaput lendir (mulut, tenggorok, septum nasi), dapat terjadi perforasi pada septum nasi/palatum mole, leukoplakia pada lidah, nyeri pada tulang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula dan humerus (biasanya malam hari). Guma dapat menyerang alat dalam seperti hepar, esofagus, lambung, paru, ginjal, vesika urinaria, prostat, ovarium, testis.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Pemeriksaan diagnosis menurut Harrison (1999) dan Harahap (1984), ada 3 yaitu: (1) pemeriksaan Treponema palidum; (2) tes serologik sifilis (TSS); (3) pemeriksaan yang lain.
- Pemeriksaan Treponema pallidum
Cara pemeriksaan ialah dengan mengambil serum dari lesi kulit dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapang gelap. Treponema tampak berwarna putih pada latar belakang gelap.
Pemeriksaan lain dengan pewarnaan menurut Buri, tidak dapat dilihat pergerakaannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak bentuknya saja. Secara lege artis harus diperiksa tiga kali berturut-turut, setiap hari, sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal.
- TSS
TSS atau Serologic Tests for Syphilis (STS) merupakan pembantu diagnosis yang terpenting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifisitas. Sensitivitas ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis, sedangkan spesifisitas berarti kemampuan non reaktif pada penyakit bukan sifilis.
S I pada mulanya memberi hasil TSS negatif (seronegatif), kemudian menjadi positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada S II yang masih dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi sangat kuat pada S II lanjut. Pada S III reaksi menurun lagi menjadi positif lemah atau negatif.
TSS dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai: (1) nontreponemal (tes reagin); (2) treponemal.
1) Tes nontreponemal
Pada tes ini digunakan antigen tak spesifik yaitu kardiolipin yang dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat memberi Reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic False Positive (BFP).
Antibodinya disebut reagin, yang terbentuk setelah infeksi dengan Treponema pallidum, tetapi zat tersebut terdapat pula pada pelbagai penyakit lain dan selama kehamilan.
Contoh tes nontreponemal:
a) Tes komplemen fiksasi: Wasserman (WR), Kolmer.
b) Tes flokasi: VDRL (Veneral Disease Research Laboratories), Kahn, RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test), dan RST (Reagin Screen Test).
Diantara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR secara kuantitatif, karena teknis lebih mudah dan lebih cepat daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes Kolmer/Wasserman, dan baik untuk menilai terapi.
Tes RPR dilakukan dengan antigen VDRL, kalau terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam enam minggu titer akan menjadi normal. Jika titer seperempat atau lebih tersangka penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat minggu sejak S I timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada S II lanjut (1/64 atau 1/125) kemudian berangsur-angsur menurun dan mencapai negatif.
2) Tes treponemal
Tes ini bersifat spesifik karena antigennya ialah treponema atau ekstraknya dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok:
a) Tes imobilisasi: TPI (Treponemal pallidum Immobilization Test).
b) Tes fiksasi komplemen: RPCF (Reiter Protein Complement Fixation Test).
c) Tes imunofluoresen: FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody Absorption test), ada dua: IgM, IgG.
d) Tes hemoglutisasi: TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination Assay), IgS IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai kekurangan: biayanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak. kecuali itu juga reaksinya lambat, baru positif pada akhir stadium primer, tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif pada sifilis dini dan sangat lanjut.
RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya murah; kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu.
FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat dua macam yaitu untuk IgM dan IgG. IgM sangat reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM cepat turun, sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.
TPHA merupakan tes treponemal yang dianjurkan karena teknis dan pembacaan hasilnya mudah, cukup spesifik dan sensitif, menjadi reaktifnya cukup dini. Kekurangannya tidak dapat dipakai untuk menilai hasil terapi, karena tetap reaktif dalam waktu yang lama.
IgS IgM TPHA merupakan tes yang mutakhir dan sedang dikembangkan. Pada sifilis laten dan S III, tes nontreponemal bervariasi: positif lemah atau negatif, sedangkan tes treponemal positif lemah. Sebulan setelah pengobatan, tes-tes tersebut diulangi. Jika pengobatannya berhasil, titer akan menurun, kecuali TPHA. Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut perlu diulangi, karena mungkin terjadi kesalahan teknis.
TSS dan kehamilan
Bila pada bayi TSS reaktif, maka belum tentu diagnosisnya sifilis kongenita, karena ada kemungkinan faktor perpindahan serum dari ibu secara pasif. Karena tes ini akan memberi reaksi positif pada neonatus dengan sifilis kongenita, tetapi negatif pada neonatus yang tidak terinfeksi oleh ibu dengan TSS positif.
TSS pada neurosifilis
Tes yang berguna untuk mendiagnosis neurosifilis ialah IgS IgM SPHA, karena adanya IgM dalam cairan serebrospinalis yang merupakan indikasi tepat bagi neurosifilis.
Positif Semu Biologik (PSB)
a) PSB akut
Ciri khas PSB akut: hasil tes nontreponemal positif lemah, tidak ada persesuaian antara kedua tes; berakhir dalam beberapa hari/minggu, jarang melebihi enam bulan sesudah penyakitnya sembuh.
b) PSB kronis
Pada bentuk ini tes treponemal akan memberi reaksi positif yang berulang dalam beberapa bulan/tahun. Hasil tes likuor serebrospinalis negatif.
Positif sejati
Positif sejati (true positives) pada TSS ialah penyakit treponematosis yang menyebabkan tes nontreponemal dan tes treponemal positif. Penyakit tersebut ialah penyakit tropis/subtropis, yakni: frambusia, bejel, dan pinta.
- Pemeriksaan yang lain
Sinar rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi pada S II, S III, dan sifilis kongenita. Juga pada sifilis kardiovaskular. Juga untuk melihat kelainan pada sistem tersebut, misalnya aneurisma aorta.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi sifilis menurut Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1998) yaitu:
- Limfadenitis inguinalis luetikum.
- Ulkus durum.
- Dimensia paralitika.
- Aneurisma aorta luetikum.
- Taber dorsalis
- Krisis lambung luetik
- Gangguan miksi.
- Periostitis/osteomielitis
- Guma:
- Otak
- Mulut dan atau hidung
- Hepar
- Testis
- Kadang orchitis luetika.
H. PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit seksual menular menurut Long (1996):
- Pencegahan Primer
Ditujukan untuk mencegah penyakit. Mencakup mendidik orang-orang yang sudah terinfeksi sedemikian rupa sehingga mereka dapat menghindarkan kontak dengan orang lain yang tidak terinfeksi. Identifikasi dan penanganan/pengobatan orang-orang asimtomatik yang tidak terlindung. Program pendidikan untuk masyarakat umum dan keterlibatan aktif pada profesional dalam program-program pengawasan. Tujuan usaha ini mencakup pemberantasan reservoir penyakit dalam masyrakat.
- Pencegahan Sekunder
Ditujukan untuk pencegahan kompliaksi-komplikasinya.
- Pencegahan Tersier
Difokuskan untuk pengurangan efek-efek komplikasi.
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan sifilis menurut Harrison (1999) dan Mansjoer (2000):
- Medikamentosa
q Sifilis primer dan sekunder
- Penisilin benzatin G dosis 4,8 juta unit injeksi intramuskular (2,4 juta unit/kali) dan diberikan satu kali seminggu, atau
- Penisilin prokain dalam aqua dengan dosis 600.000 unit injeksi intramuskular sehari selama 10 hari, atau
- Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat, dosis total 4,8 juta unit, diberikan 2,4 juta unit/kali sebanyak 2 kali seminggu.
q Sifilis laten
- Penisilin benzatin G dosis total 7,2 juta unit, atau
- Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 12 juta unit (600.000 unit sehari) atau
- Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat, dosis total 7,2 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu).
q Sifilis III
- Penisilin benzatin G dosis total 9,6 juta unit, atau
- Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 18 juta unit (600.000 unit sehari), atau
- Penisilin prokain ditambah 2% aluminium monostearat, dosis total 9,6 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, 2 kali seminggu).
q Untuk pasien sifilis I dan II yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan:
- Tetrasiklin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 15 hari, atau
- Eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 15 hari, atau
Untuk pasien sifilis laten lanjut (lebih dari 1 tahun) yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan:
- Tetrasiklin* 500 mg per oral 4 kali sehari selama 30 hari, atau
- Eritromisin 500 mg per oral 4 kali sehari selama 30 hari, atau
* Obat ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, menyusui dan anak-anak.
- Pemantauan serologik
Pemantauan serologik dilakukan pada bulan I, II, VI, dan XI tahun pertama, dan setiap 6 bulan pada tahun kedua.
- Non medikamentosa
Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
- Bahaya PMS dan komplikasinya.
- Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan.
- Cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan seks tetapnya.
- Hindari hubungan seksual sebelum sembuh, dan memakai kontom jika tak dapat menghindari lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Long, B.C. (1996). Perawatan medikal bedah (suatu pendekatan proses keperawatan). Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran.
Cunningham, G.F., Mc. Donald, P.C., Gant, N.F. (1995). Obstetri Williams. Edisi 18. Jakarta : EGC.
Djuanda, Adhi. (1993). Ilmu penykit kulit dan kelamin. Edisi kedua. Jakarta : FKUI.
Doengoes, Marilynn E. (1999). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Gilstrap, Larry C. (1990). Infection in pregnancy. New York : Alan R. Liss, Inc.
No comments:
Post a Comment